Jawa Barat bagian selatan pernah terstigma sebagai daerah terpinggirkan. Kini, sebagian potensi masa depan energi ramah lingkungan bagi bangsa ini ada di sana.
Suasana di kawasan tambak udang PT Nayottama Kelola Laut Indonesia di Kabupaten Tasikmalaya, Jabar, mendadak senyap, Minggu (7/8/2022) siang. Deru air deras yang dipicu putaran kincir di kolam tidak terdengar. Untuk kesekian kalinya aliran listrik di sana mati.
”Nah, mati lampu lagi. Biasanya tidak lama. Semoga,” kata Direktur Operasional PT Nayottama Kelola Laut Indonesia Wahyudi Sasprihanto.
Wahyudi benar. Tidak sampai satu menit listrik menyala lagi. Namun, tidak lama listrik kembali mati.
”Masalah ini membuat kami kerap cemas. Udang sangat bergantung pada pasokan oksigen dari kincir,” ujarnya.
Menurut dia, ketersediaan listrik menjadi salah satu tantangan dalam budidaya udang. Oleh sebab itu, setiap tambak udang biasanya menyediakan generator berbahan bakar minyak sebagai sumber energi alternatif.
Meski menambah biaya operasional, Nayottama tidak mau ambil risiko. Pihaknya menyiapkan dua generator untuk mengantisipasi hal tidak terduga.
Aktivitas pekerja di tambak udang vaname PT Nayottama Kelola Laut Indonesia, Tasikmalaya, Jawa Barat, Minggu (7/8/2022). Budidaya udang di selatan Jabar potensial menjadi masa depan. Data Dinas Kelautan dan Perikanan Jabar mencatat, pada 2020 produksi budidaya udang mencapai 131.499 ton.
Wahyudi mengatakan punya mimpi solusi atas masalah ini. Menurut dia, pesisir Jabar selatan punya potensi energi baru terbarukan (EBT) potensial. Selain panas bumi, ada tenaga surya hingga angin yang ramah lingkungan.
Akan tetapi, ia mengakui, investasinya tidak murah. Diperlukan skema pengembangan energi terbarukan secara komunal.
Dengan begitu, biaya investasi dan pengelolaannya tidak hanya ditanggung satu pengusaha. Ada banyak petambak yang bisa memanfaatkannya. Saat itu diterapkan, kekhawatiran terhadap pasokan listrik kemungkinan besar bisa ditekan.
Harapan Wahyudi selaras dengan keinginan Pemerintah Provinsi Jabar untuk memaksimalkan potensi EBT. Hanya menggantungkan kebutuhan pada energi fosil bukan hal bijaksana. Selain berbiaya tinggi, bumi dihadapkan pada pemanasan global. Energi ramah lingkungan dibutuhkan untuk memperpanjang usia bumi.
Gubernur Jabar Ridwan Kamil berulang kali menyampaikan hal itu di dalam dan luar negeri. Dalam pertemuan Assisi & Rome Roundtable di Assisi, Italia, 21-23 Mei 2022, yang digagas Global Foundation, organisasi nirlaba yang fokus pada beragam masalah global, misalnya, dia mengatakan, langkah konkret mendesak untuk menangani pemanasan global. Semua negara, ujarnya, bakal terdampak. Tidak ada lagi batasan antardaerah dan negara.
Untuk itu, Kamil mengajak semua pihak berinisiatif menggencarkan pola pembangunan berkelanjutan. Salah satunya dengan pembangunan infrastruktur pendukung energi terbarukan.
Sejauh ini, dia mengatakan, Jabar berada di jalan yang tepat. Berbagai infrastruktur, mulai dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB), sedang dan akan dibangun menjadi yang terbesar di Asia Tenggara.
Dia merujuk PLTS terapung di Waduk Cirata yang bakal berkapasitas 145 megawatt (MW) serta PLTB di selatan Sukabumi yang bisa berkekuatan 150 MW. Keberadaan dua infrastruktur yang sudah menarik investasi asing ini bakal membantu menopang pasokan energi terbarukan panas bumi di Jabar mencapai 1.269 MW.
Pengolahan sampah ke depan juga diyakini lebih ramah energi. Selain punya pengolahan plastik satu-satunya di Indonesia, kawasan pengolahan sampah raksasa tengah disiapkan. Tempat Pembuangan Sampah (TPS) Legok Nangka, misalnya, ditargetkan bakal menghasilkan listrik 20-30 MW.
Langkah itu melengkapi pembangunan baterai mobil listrik di Jabar. Patut dicatat, Jabar satu-satunya daerah yang menggunakan mobil listrik sebagai kendaraan dinas,” ujarnya.
TANTANGAN
Turbin angin Lentera Bumi Nusantara berputar di pinggir pantai di Desa Ciheras, Kecamatan Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, Sabtu (6/8/2022). Lokasi tersebut digunakan sejumlah mahasiswa untuk mengerjakan penelitian dan pengembangan serta transfer teknologi pemanfaatan energi terbarukan, khususnya energi angin.
Berdasarkan data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jabar, potensi EBT bisa dimaksimalkan lebih masif. Energi surya menjadi yang terbesar di Jabar, mencapai 156,630 gigawatt peak (GWp).
Selain itu, ada angin sebesar 12.272 megawatt (MW) dan panas bumi sebesar 5.956,80 MW. Namun, selain panas bumi yang sudah dimanfaatkan hingga 20 persen, angin dan surya masih berjuang menyentuh angka 1 persen.
Kepala Dinas ESDM Jabar Ai Saadiyah Dwidaningsih mengatakan, pemanfaatan EBT relevan dalam kondisi geopolitik kini. Harga komoditas energi fosil, seperti minyak bumi dan batubara, melonjak tajam. Akibatnya, saat krisis energi terjadi di sejumlah negara, hal itu bakal berimplikasi pada stabilitas politik dan kelangsungan bernegara.
Teknisi memantau suhu serapan di atas permukaan panel surya di Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Cirata yang dikelola PT Pembangkitan Jawa Bali di kawasan Waduk Cirata, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Kamis (23/9/2021). PLTS berkapasitas 1 MW ini menjadi proyek percontohan sekaligus sarana pembelajaran tentang PLTS. Menurut rencana, di Waduk Cirata akan dibangun PLTS terapung.
”Energi terbarukan juga bakal mewariskan lingkungan yang lebih baik bagi masa depan. Untuk jangka panjang, saat penggunaan kendaraan listrik meningkat, penggunaan EBT pasti lebih murah ketimbang fosil,” katanya.
Oleh karena itu, Ai mengatakan, Jabar menggenjot banyak program meningkatkan penggunaan EBT. Setelah pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) dan pembangkit listrik tenaga surya solar home system (PLTS SHS), pengembangan EBT diarahkan pada pengembangan PLTS atap.
Sejak 2014, dia mencontohkan, penggunaannya dilakukan di beberapa kantor pemerintahan. Di antaranya, Kantor Dinas ESDM Jawa Barat dengan kapasitas 14,8 kilowatt peak (kWp), Gedung Pakuan (22,8 kWp), Gedung DPRD (85 kWp), dan kantor dinas ESDM di daerah.
Selanjutnya, rencana pengembangan PLTS atap akan diperluas ke pesantren- pesantren. Skemanya lewat kerja sama dengan Kedutaan Besar Inggris telah disusun prastudi kelayakan untuk 173 SMA/SMK di Jabar. Nantinya akan dicoba melalui pembiayaan alternatif untuk mewujudkan implementasi PLTS atap di sekolah-sekolah agar lebih masif.
”Nilai investasinya sekitar 15 juta dollar AS. Pada tahun 2021, respons dari investor pengembang PLTS sangat baik. Banyak yang berminat. Namun, formulasi bisnis terbaik tengah kami susun,” katanya.
Akan tetapi, semua bukan tanpa tantangan. Dari aspek regulasi, kewenangan sektor energi relatif tersentralisasi di pemerintah pusat. Hal itu menyebabkan terbatasnya ruang fiskal dan gerak daerah dalam pengembangan EBT.
Selain itu, dari aspek teknis, kemampuan sistem jaringan untuk menyerap listrik dari EBT masih terbatas. Sifatnya juga masih belum bisa dipastikan tersedia terus-menerus.
”Sedangkan dari aspek finansial, subsidi terhadap energi fosil masih cukup besar. Ketertarikan sektor keuangan dalam berinvestasi di bidang EBT masih rendah karena risiko yang dinilai tinggi. Padahal, harga pembangkitan EBT untuk beberapa sumber, seperti PLTS, semakin terjangkau,” ujarnya.
Keinginan petambak udang di selatan Jabar jelas menjadi harapan banyak orang di sektor lain. Energi terbarukan adalah jawaban untuk masa depan ekonomi manusia dan dunia lebih baik. Dari Jabar selatan, asa itu terus dipupuk.
Penulis: Tim Humas ESDM Jabar